(Dr. Bambang Supriyadi, M.Pd.)
DPR dan pemerintah sepakat untuk tidak mewajibkan sekolah-sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka, beberapa waktu lalu. Sekolah dipersilahkan memilih menggunakan kurikulum merdeka atau 2013. Konon kesepakatan ini setelah menempuh perdebatan panjang. Hal ini berkaitan erat dengan evaluasi yang masih dilakukan oleh DPR.
Pertanyaan mendasar bagi DPR adalah apakah kurikulum merdeka memberikan dampak yang sesuai harapan atau tidak. Dapat ditangkap dengan pertanyaan ini adalah apakah dengan kurikulum merdeka telah memberikan ruang yang optimal bagi guru untuk mengembangkan pembelajaran, dan apakah sudah mampu memberikan kesempatan yang optimal bagi siswa untuk mengembangkan diri.
Sebagai praktisi sehari-hari dalam kancah pendidikan, penulis dapat memahami kesepakatan tersebut. Banyak hal dalam kurikulum merdeka yang harus dievaluasi. Tidak semata-mata pada perbedaan format dengan kurikulum 2013, namun lebih jauh adalah apakah efektivitas yang diharapkan dapat terwujud?
Dalam kurikulum merdeka terdapat dua roh yang diimplementasikan, pembelajaran reguler dengan output nilai akademik, dan pembelajaran proyek dengan output narasi ketercapaian kompetensi. Keduanya berbobot sama, namun perbedaannya adalah jika pada pembelajaran reguler berbasis mata pelajaran, dan pada pembelajaran proyek berbasis penguatan profil pelajar pancasila. Dalam bahasa awamnya pembelajaran proyek tidak selalu harus dikaitkan dengan mata pelajaran.
Pembelajaran dengan output nilai akademik sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kurikulum 2013. Keduanya menekankan pada kinerja siswa, dan memperhatikan kondisi yang berbeda antar siswa. Guru sebagai fasilitator mengembangkan Lembar Kerja Peserta Didik atau biasa disebut LKPD, atau beheula disebut LKS. Kemudian dengan LKPD inilah siswa bekerja baik secara individu maupun berkelompok.
Lalu kemudian dalam kurikulum merdeka dikenal adanya pembelajaran terdiferensiasi, dalam kurikulum 2013 pun hal ini dilakukan walau tidak dengan istilah spesifik. Secara umum semua karakteristik kurikulum merdeka sudah terlaksana pada kurikulum 2013. Sedikit berbeda adalah ketika kurikulum 2013 memiliki penekanan pada penilaian sikap, dan ini tertuang dalam kompetensi inti, baik sikap sosial maupun sikap spiritual.
Pertimbangan penentuan model pembelajaran pun selalu dilakukan guru tidak hanya pada kurikulum merdeka. Hal ini dikarenakan guru memang sangat memahami berbagai variabel di dalam kelas. Guru menyadari sepenuhnya bahwa dalam sebuah kelas selalu terdapat siswa dengan kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Dalam arti, jika pada kelas tertentu untuk materi tertentu dapat menggunakan model A, tapi pada kelas yang lain model A belum tentu dapat diterapkan, atau bisa diterapkan dengan modifikasi pada beberapa hal. Hal ini pun lazim dilakukan pada kurikulum 2013.
Jadi sebetulnya yang membedakan antara kurikulum merdeka dengan kurikulum 2013 adalah pada pembelajaran proyek. Dalam kurikulum merdeka peran guru selain sebagai pengampu mata pelajaran juga menjadi fasilitator dalam proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Namun demikian seringkali terjadi tumpang tindih di lapangan. Pada saat yang sama guru berkewajiban menyelenggarakan pembelajaran reguler sampai evaluasi dan refleksi, pada sisi yang lain guru berkewajiban membimbing pembelajaran proyek. Mungkin inilah salah satu bagian penting yang harus dievaluasi pada kurikulum merdeka.
Solusi yang dapat ditawarkan dalam hal ini adalah dengan cara memberikan kebebasan kepada guru dan kelompok guru untuk menyelenggarakan pembelajaran proyek dan berkaitan dengan materi pembelajaran reguler. Artinya tidak perlu mengacu pada enam dimensi yang ditetapkan pada kurikulum merdeka. Dalam hal ini siswa diberikan kebebasan untuk memilih mengerjakan proyek pada mata pelajaran tertentu sesuai dengan minat dan kompetensi yang dimiliki, tentu saja dalam kelompok-kelompok kecil. Misalnya dalam satu kelas terdapat 36 orang siswa, bisa jadi terdiri dari enam kelompok. Masing-masing kelompok memilih mata pelajaran tertentu sebagai basis proyeknya dan sudah tentu akan dibimbing oleh guru mata pelajaran yang berkaitan.
Akhirnya penulis tertarik sebuah quote dari Lisa Delpit, If the curriculum we use to teach our children does not connect in positive ways to the culture young people bring to school, it is doomed to failure.