(Dr. Bambang Supriyadi, M. Pd.)
Menjawab pertanyaan komite tentang seberapa besar (%), pembiayaan di satuan pendidikan (sekolah) dikembalikan ke siswa? Ini merupakan suatu pertanyaan yang lumrah dan wajar, mengingat salah satu sumber pembiayaan di level SMAN/SMKN/SLBN di Jawa Barat berasal dari sumbangan orang tua siswa. Walau betapa sulitnya menghimpun sumbangan ini karena tidak ada kewajiban dan ketentuan kapan dilaksanakan namun di pelbagai sekolah tetap dilaksanakan untuk membiayai program kegiatan yang berorientasi pada peningkatan mutu. Mutu merupakan gambaran dari standar yang diterapkan dan kepuasan pelangan. Di sekolah terdapat delapan standar nasional pendidikan, dan pelanggan internal (kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, penjaga, pesuruh/OB) serta pelanggan eksternal (siswa dan orang tua/wali murid). Tentunya semua program kegiatan sekolah pada ujungnya bermuara pada peningkatan kompetensi, karakter baik peserta didik. Ada program kegiatan yang langsung mengena pada peserta didik dan ada yang tidak langsung mengena pada peserta didik namun muaranya tetap pada peningkatan kompetensi, karakter baik peserta didik. Program kegiatan kesiswaan seperti ekskul, pentas seni, pengadaan sarana prasarana seperti buku, acces point tiap kelas dsb. memang bisa dirasakan oleh peserta didik. Namun kegiatan pengembangan kompentensi guru, tenaga administrasi, penilaian, perencanaan pembelajaran dsb yang tidak langsung mengena peserta didikpun bermuara pada peningkatan mutu yang berujung pada peserta didik. Dapat disimpulkan semua kegiatan 100% berorientasi pada peningkatan peserta didik. Pertanyaanya lebih tepat mana yang langsung mengena dan mana yang tidak langsung mengena kepada peserta didik ? Mana yang bisa membuat senang dan mana yang bersifat tranfer of learn pada peserta didik.
Sekolah adalah sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang jasa setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak mengakibatkan kepemilikan sesuatu, sehingga pelayanan prima sangat dibutuhkan untuk membuat kenyaman pada pengguna jasa, dalam hal ini peserta didik dan orang tua. Sekolah bermutu, maksudnya sekolah yang pelayanan jasa dan mutu lulusannya diatas standar, sehingga memuaskan peserta didik. Menurut Feigenbaum, mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfication). Suatu produk dianggap bermutu apabila dapat memberikan kepuasan sepenuhnya kepada konsumen, yaitu sesuai dengan harapan konsumen atas produk yang dihasilkan.
Sekolah berdaya saing, maknanya sekolah tersebut lulusannya dapat bersaing dan memenangkan dalam persanginan dengan sekolah lain. Sekolah bermutu dan berdaya saing menjadi harapan orang tua ketika akan menyekolahkan anaknya kesebuah sekolah, dampaknya dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) masyarakat akan mendaftarkan ke sekolah yang banyak prestasinya—baik akademik maupun non akademik—maka muncullah penamaan sekolah favorit dan tidak favorit. Bahkan dalam beberapa kasus untuk mendapatkan sekolah favorit atau bermutu, kadang menghalalkan dengan segala cara, diantaranya memalsukan tempat tinggal, memalsukan sertifikat kejuaraan dan memalsukan ”mark up” nilai raport. Tindak kecurangan yang dilakukan oleh orang tua dan sekolah justru “akan meracuni” karakter anak dan bertentangan dengan profil pelajar pancasila. Kunci menwujudkan sekolah unggul dan berdaya saing adalah 3 K yaitu komunikasi, kolaborasi dan komitmen.
Pertama, Komunikasi, adalah interaksi antara dua orang atau lebih dengan menggunakan media manual atau tatap muka langsung atau media elektronik dan media sosial. Komunikasi terjadi karena adanya aspek kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial, juga dalam upaya menyampaikan informasi atau membutuhkan suatu informasi dan menyamakan persepsi untuk mewujudkan kesepakatan bersama. Dalam organisasi modern komunikasi yang efektif terjadi dua arah, sehingga bisa berdiskusi,atau sharring pemikiran untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan bersama. Sekolah sebagai suatu organisasi, adanya unsur kepala sekolah, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik, adanya komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan. Komunikasi bisa terjadi secara top down yang sifatnya intruksi dari kepala sekolah atau bisa bersifat button up yaitu berupa informasi, masukan dan usulan dari tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik. Terwujudnya sekolah unggul dan berdaya saing, diawali dari komunikasi yang bersifat button up hal pertama dan yang paling utama dikomunikasikan adalah merumuskan visi, misi, tujuan dan strategi sekolah. Visi dan misi itu bukan “kitab suci” maka harus direvisi oleh warga sekolah maksimal empat tahun sekali disesuaikan dengan perkembangan kodrat alam dan kodrat zaman. Visi misi sekolah akan terwujud jika semua stakeholder — kepala sekolah, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik—memiliki visi misi peribadi sesuai dengan job description nya.
Kedua, Kolaborasi, adanya komunikasi yang efektif di sekolah—adanya pemahaman yang sama—maka akan terjadi kolaborasi. Kolaborasi bermakna adanya gerak langkah yang sama yang dilakukan lebih dari satu orang untuk mewujudkan rencana yang sudah dikomunikasikan. Kolaborasi terjadi di sekolah karena semua warga sekolah memiliki tujuan yang sama dengan merujuk pada visi, misi, tujuan dan strategi sekolah. Kolaborasi akan efektif jika kepala sekolah dibantu oleh para wakil kepala sekolah— yang kompeten sesuai bidangnya serta loyalitas total terhadap kepala sekolah— dan setiap wakil kepala sekolah merancang program kerja sesuai visi misi sekolah, selanjutkan diimplementasikan oleh guru —membuat modul ajar dan modul P5—dan tenaga kependidikan—menjalankan pelayanan prima kebutuhan guru dan peserta didik— dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Bagi kepala sekolah sendiri kolaborasi tidak hanya kolaborasi dengan intern sekolah tetapi menjalin kolaborasi dengan ektern sekolah, seperti Komite Sekolah, Muspika Kecamatan, Kapolsek, Danraml, MKKS, KCD, perguruan tinggi serta dunia usaha dan dunia industri. Adanya komunikasi dan kolaborasi yang kondusif, maka sekolah tinggal menunggu saja”panen” buahnya yaitu prestasi sekolah.
Ketiga, Komitmen, kesinambungan prestasi sekolah akan terjaga dan terus meningkat jika warga sekolah memiliki komitmen yang sama, jangan sampai kalau sekolah diibaratkan sebuah prahu, kepala sekolah sebagai nakhodanya, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik sebagai ABK nya, dan prestasi adalah pulau tujuannya. Jika diantara ABK —walaupun satu orang—melubangi lambung prahu, maka dipastikan prahu tersebut akan tenggelam dan menewaskan seluruh penumpang termasuk ABK yang melubangi prahu. Komitmen semua warga sekolah harus terus diingatkan, kalau ada yang tidak sepakat/setuju dengan kebijakan dan kebijaksanakan kepala sekolah, maka sebagai ABK yang cerdas, berdiskusilah dengan kepala sekolah, bukan menyebarkan “hoaks” dan membuat gaduh sekolah.
Terwujudnya sekolah unggul dan berdaya saing, tidak semudah membalikan telapak tangan, tetapi kebutuhan yang pertama adalah seorang kepala sekolah yang “visioner” , kemudian kedua stakeholder sekolah yang juga mau keluar dari “zona nyaman”—mau berinovasi, kreatif dan konstruktif— dan berfikir diluar kotak—memikirkan sebelum orang lain memikirkannya dan melakukan/mewujudkan ketika orang lain baru berfikir—maka sampai pantai tujuan akan terwujud. Adanya komunikasi, kolaborasi, dan komitmen, akan menjadi kata kunci yang harus dilakukan oleh sebuah sekolah. Semua dikerahkan untuk kepentingan dan kepuasan pelanggan. Semoga ikhtiar yang kita lakukan akan menjadi ladang amal diakhirat kelak….Aamiin.